Sabtu, 13 November 2010

Pemanasan global

Pemanasan global atau Global Warming adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi.

Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia"[1] melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut. Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1] Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air lautdiperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil.[1] Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.

Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim,[2] serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.

Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekuensi-konsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.
Read More..

Mewspadai Sampah Di Tengah Lingkungan Kita

Musim hujan telah tiba dan membasahi lingkungan serta pemukiman kita semua. Bagi lingkungan yang tertata apik tentu musim hujan tidak menimbulkan banyak masalah. Namun untuk lingkungan yang kumuh berbagai masalah tentu akan timbul. Terutama untuk sampah yang menumpuk di saluran-saluran pembuangan yang mampat, karena sistem sanitasi dan drainase yang tidak terkonsep secara matang.

Sampah yang menumpuk tersebut tentunya akan banyak mengganggu kita, disamping menimbulkan bau yang tak sedap. Sampah inipun akan banyak menimbulkan penyakit. Untuk sampah yang banyak mengandung makanan busuk, sudah pasti merupakan sarang hidupnya Bakteri Coli. Sehingga apabila sampah ini menumpuk di saat musim hujan, tentunya akan menimbulkan wabah muntaber atau diare., DB dan lain sebagainya.. Sampah juga bisa mengundang datangnya kawanan tikus dan serangga yang bisa menyebabkan berbagai penyakit pencernaan, penyakit kuning, penyakit cacing perut , Malaria dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan sampah bisa mencemari air permukaan, air tanah , lahan pertanian dan juga bisa mencemari udara yang menyebabkan permasalahan pada manusia dan ekosistem.nya. Hal ini akan menimbulkan ancaman yang lebih serius lagi, karena memasuki awal Tahun 2010 ini curah hujan tentunya akan menngkat tajam. Sehingga dipastikan akan timbul banjir dan genangan di mana-mana, ditambah dengan sistim pertahanan tubuh kita yang menurun..

Sampah yang mencemari lingkungan pada jaman modern ini, bukan hanya sebagai zat hasil buangan kehidupan sosial masyarakat saja ( sisa makanan, plastik, bagian tumbuhan dsb )., tetapi sampah ini juga bisa berasal dari buangan aktifitas teknologi manusia ( waste ), yang mencakup juga zat-zat buang kimiawi atau juga aktifitas nuklir. Oleh karena itu komposisi kimia yang dikandung sampah sangat bergantung lokasi pemukiman , terutama yang memiliki drainase yang berhubungan langsung dengan lingkungan industri.

Sampah yang berupa bahan organik berasal dari aktifitas manusia sebagai makhluk sosial disebut dengan sampah rumah tangga ( Garbage ). Sedangkan senyawa/ bahan yang berasal dari sisa aktifitas manusia dalam bidang teknologi disebut dengan zat buang ( Waste ). Contoh yang tergolong zat buang adalah Carbon Monoksida . CFC dan Green House Gas dan lapin sebagainya..

Di tengah masyarakat, sampah memang menimbulkan hal yang pelik, sebab sampah adalah bahan yang harus diibuang dengan benar karena sifatnya yang racun. Namun demikian terdapat juga komponen sampah yang bernilai ekonomis, oleh karena itu dalam pengelolaan sampah disarankan untuk tidak mengesampingkan aspek daur ulang. Apalagi dengan semakin mahal dan terbatasnya sumber daya alam, maka recycled ( daur ulang ) sampah menjadi pilihan alternatif untuk menghemat biaya produksi suatu bahan, ketimbang kita memproduksi dari bahan mentah ( raw-materials ).

Definisi Sampah / Zat Buang
Sejauh ini belum ada kesepakatan internasional tentang batasan sampah / zat Buang, hal ini disebabakan karena setiap pihak / lembaga atau badan lainnya, memiliki interprestasi yang berbeda mengenai sampah. Sebagai contoh batasan sampah menurut United Nations Environment Program ( U N E P ), sampah adalah senyawa atau bahan yang terbuang atau sengaja dibuang atau harus dibuang menurut undang-undang di negara yang bersangkutan. Ketetapan ini sesuai dengan Basel Convention.

Basel Convention adalah konvensi yang didirikan pada Tahun 1989 , tetapi mulai menerapkan hasil-hasil konvensinya pada tahun 1992, Konvensi ini didirikan untuk mengontrol keamanan barang ekspor dan import antara negara negara erop
Sedangkan batasan sampah / Zat Buang menurut United Nations Statistics Division ( UNSD ) sampah adalah bahan yang bukan produk utama atau bukan bahan yang menjadi tujuan utama untuk diproduksi, didistribusikan atau dikonsumsi. Sampah bisa juga dihasilkan dari bahan sisa pada proses ekstraksi bahan mentah, baik ekstraksi tahap menengah atau ekstraksi akhir, atau sebagai hasil buangan aktifitas manusia. Kategori sampah juga bisa diterapkan untuk sisa daur ulang sampah itu sendiri ataupun bahan sisa dari penggunaan hasil daur ulang sampah.

Batasan menurut Negara Negara Eropa ( EU ) yang dikategorikan sebagai sampah / Zat Buang yang dibuang, perlu atau memang harus dibuang menurut amandemen 75/442/ EC dari Waste Frame Work Directive adalah senyawa atau bahan yang tidak digunakan lagi selama belum aman dan bahan yang tidak memiliki guna lagi untuk lingkungan dan kesehatan manusia.

Demi penyelamatan lingkungan dari ganasnya sampah, maka Inggris pada Th 1994 mengeluarkan perundang undangan tentang sampah yang disebut Waste Management Licensing Regulations yang mendifinisikan sampah sebagai senyawa atau bahan yang diputus kepemilikannya oleh produsen / seseorang karena dibuang atau berniat dibuang atau memang harus dibuang, kecuali untuk bahan yang telah diatur oleh Waste Directive ( Peraturan mengenai sampah )
Read More..

Bencana Alam

Sebenarnya sebuah Negara Kalulistiwa yang dilimpahi anugerah oleh Sang Pencipta dengan kekayaan sumber alam hayati dan non hayati, sudah seharusnya didiami oleh insan yang sarat dengan perlilaku moralitas sebagai rasa sukur kepada Sang Pencipta. Betapa tidak kita memiliki 400 gunung berapi dan 130 di antaranya termasuk gunung berapi aktif . Masihkah kita bersikap menepiskan moralitas kita, bila salah satu gunung tersebut menyelimuti hati kita dengan kepiluan.Media mana yang tidak meliput specifikasi Merapi pada saat ini. Lengkap dengan predikat gunung tergarang di dunia, type gunung dan alas an geologis mengapa Merapi bertemperamen seperti ini, sejarah kapan Merapi menggegerkan masyarakat dunia dan dampak yang ditimbulkanya. Demikian juga letusan pada periode ini (meski kita tidak tahu pasti kapan peride berkutnya bakal meletus lagi) yang terjadi sejak akhir Oktober hingga mimggu ke dua Nopember 2010, masih saja Merapi membuat repot masyarakat Indonesia dan dunia. Hal ini wajar saja lantaran Merapi terletak di tengah pemukiman padat masyaralat yang tersebar di Kab Boyolali, Kab. Klaten. Kab Magelang Jawa Tengah dan Kab Sleman DI Jogjakarta.

Maka lengkap sudah penderitaan masyarakat kita bila kita mencemati laporan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang meriliskan merilis data bahwa 83 persen wilayah Indonesia rawan bencana alam. Mulai dari banjir, longsor, gempa bumi, tsunami, angin topan, letusan gunung berapi, hingga kebakaran hutan dan sejak 10 tahun terakhir, telah terjadi 6 ribu bencana alam.

Setelah bencana alam tsunami yang melanda masyarakat Aceh tahun 2004 silam, bencana letusan Gunung Meapi yang terhebat selama 100 tahun ini sangat menyedot perhatian masyarakat Indonesia. Hal ini tentu saja bila kita membayangkan betapa besar kerugian harta benda (rumah,sawah dan ladang, ternak dan lain sebagainya), belum lagi korban jiwa yang mendekati 190 korban jiwa dan ratusan ribu warga yang mengungsi di daerah yang aman ( diluar radius 25 km dari Merapi).

Tetapi bukan itu saja yang seharusnya melatarbelangi suatu upaya dan kepedulian yang besar dari kita semua, yaitu sebuah latarbelakang yang berhubungan dengan karakter Gunung Merapi yang susah ditebak, tetapi letusanya mampu membawa dampak sistemik bagi masyarakat yang memusarinya. Akhirnya sebuah alternatif yang paling memungkinkanpun bisa kita rencanakan dengan sebuah relokasi menyangkut ratusan ribu warga. Dengan alasan kita tidak mungkin membiakan sekali lagi bila mereka menjadi korban keganasan Merapi.

Merekolasi mereka tentu saja kita harus pula memberikan kepedulian tentang masyarakat sekitar Merapi sebagai masyarakat sosial, yang mengais hidup dari bertani dan beternak. Sebagian besar dari mereka hanya memiliki ketrampilan bertani sayuran di ladang sebagai petani gurem. Hal ini membawa sebah konsekuensi bahwa tehnik bertani dengan sistim pertanian di sawah irigasi masih asing bagi mereka.

Dengan kehidupan social tersebut maka mereka bukan tidak mungkin untuk menolak relokasi di kawasan baru. Mereka lebih memilih untuk kembali ke tempat asal semua, karena mereka merasa telah mengenal persis karakter Merapi. Bahkan meski Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) belum menurunkan status Gunung Merapi, sebagian dari mereka bersikeras untuk kembali ke kampungnya guna melanjutkan hidup bertani.

Kontadiksi social inilah yang hendaknya mampu dijadikan stimulir untuk mengulurkan kepedulian yang nyata kepada mereka, yang mencakup pendanaan, konsep, tenaga, pemikiran atau apa saja yang mampu mensinerjikan langkah yang taktis, akuran dan tidak menyisakan permasalahan yang baru. . Contoh kasus seperti ini pernah melanda masyarakat Pulau Mentawai yang pernah menuntut relokasi jauh dari daerah pantai, namun tuntutan mereka hingga tahun 2010 belum terealisir hingga terjadilah tsunami yang kedua kali, yang memakan korban jiwa.

Mampukah kita mengusung sebuah langkah penuh nurani seperti 300 relawan yang larut dengan penderitaan mereka, yang sebagian public melabelkan sebagai pahlawan bangsa masa sekarang. Tentu saja bila panggilan nurani ini menyeruak ke semua anak bangsa, maka derita pengungsi Merapi dan korban bencana alam lainnya akan berkurang kepiluannya.
Read More..